Home » » Makna Agung Dibalik Doa untuk Orang Tua

Makna Agung Dibalik Doa untuk Orang Tua

Membaca judul tulisan ini otomatis hampir semua kita tahu dan langsung teringat doa keseharian kita untuk kedua orang tua. Rabbighfir lii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa Rabbayaanii Shagiiran (Wahai Tuhanku, Ampunilah dosa-dosaku dan kedua orang tuaku, serta kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu kecil), begitulah redaksi lengkapnya. Mendoakan kedua orang tua adalah tanda bakti kita kepada keduanya, baik saat masih hidup maupun setelah mereka berdua tiada. Berbakti kepada orang tua merupakan akhlak manusia yang utama dan paling ditekankan Allah dalam firman-Nya, setelah berkhlak kepada Allah dengan “larangan menyembah kepada selain-Nya”. Ini setidaknya jelas disebutkan dalam QS. Al-Isra/17: 23 tentang ketentuan Allah bagi manusia; QS. Luqman/31: 13-14 tentang nasehat Lukman kepada anaknya; QS. Al-Baqarah/2: 83 tentang perjanjian Allah dengan Bani Israel. Begitu utamanya berbakti kepada kedua orang tua, sampai-sampai Rasulullah Saw. yang begitu mencintai umatnya berlepas tangan dari seseorang yang tidak mengindahkannya. Ali bin Abi Thalib Ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Aku berlepas tangan dari seseorang yang tidak memenuhi hak kedua orangtuanya". Saat itu, Ali bertanya, "Rasulullah, bagaimana jika dia tidak memiliki sesuatu?" Rasulullah menjawab, "Ia tetap berkewajiban untuk mendengarkan dan menaati apa yang dikatakan keduanya; berkata lemah lembut kepada keduanya; dan tidak membentak atau mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan kejengkelan dan ketidaksabaran.” Ada yang bertanya pada Nabi, "Bagaimana jika kedua orang tuanya telah meninggal dunia?" Rasulullah SAW menjawab, "Dia bersedekah untuk kedua orang tuanya dengan memberi makan fakir miskin, membaca Al-Qur'an, dan berdoa. Jika dia tidak melakukan itu, maka dia telah mendurhakai kedua orang tuanya. Ingat, orang yang mendurhakai kedua orang tuanya adalah orang yang berbuat maksiat. Seseorang yang shalat fardhu lalu berdoa untuk kedua orang tuanya pasti doanya juga diterima oleh Allah. Dia pun diampuni berkat doanya itu walaupun kedua orang tuanya itu fasik". Namun, yang menarik dari redaksi doa di atas adalah penggalan kata Warhamhumaa kamaa rabbayaani shagiiran yang kurang lebih maknanya “kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu kecil”. Dalam sebuah kesempatan perkuliahan S2 di UIN Jakarta, seorang Guru Besar Tafsir memberikan pemahaman yang mengejutkan terhadap penggalan doa yang termaktub dalam QS. Al-Isra’/17:24 ini. Menurutnya, kata kamaa (sebagaimana) menjelaskan makna proporsionalitas, di mana besarnya pahala yang berhak diterima oleh orang tua yang didoakan itu sesuai besarnya jasa mereka dalam mendidik anaknya dulu semasa kecil, baik balasan di dunia semasa mereka masih hidup maupun nanti di hari akhir. Pendapat tersebut tentu akan terus menjadi perdebatan kalau dipahami secara matematis, namun bagi penulis di balik itu ada makna spirit dan motivasi bagi orang tua untuk memberikan perhatian maksimal bagi tumbuh-kembang anaknya sedari kecil. Nah, salah satu bentuk perhatian yang sangat penting dari orang tua kepada anaknya adalah dialog atau komunikasi. Dalam hal ini, ada sebuah temuan ilmiah yang menarik soal dialog antara orang tua dengan anaknya, yakni Tesis seorang Mahasiswi Universitas Ummul Quro, Makkah, pada Fakultas Pendidikan, Konsentrasi Pendidikan Islam dan Perbandingan. Sarah binti Halil bin Dakhilallah al-Muthiri, demikian nama mahasiswi tersebut, memberikan judul Tesisnya: “Dialog Orang Tua dengan Anak dalam al-Qur’an al-Karim dan Aplikasi Pendidikannya”. Kesimpulan hasil penelitiannya menjelaskan bahwa terdapat 17 dialog berdasarkan tema antara orang tua dengan anak dalam al-Qur’an yang tersebar dalam 9 Surah, yang rinciannya sebagai berikut: - Dialog antara ayah dengan anaknya (14 kali); - Dialog antara ibu dan anaknya (2 kali); - Dialog antara kedua orangtua tanpa nama dengan anaknya (1 kali). Ternyata al-Qur’an ingin memberikan pelajaran bahwa untuk melahirkan generasi istimewa harus memberikan porsi lebih banyak bagi ayah untuk berkomunikasi dengan anaknya. Al-Quran menyebutkan ayah 7 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan ibu (14:2) dalam hal berdialog dengan anaknya. Mendukung temuan ilmiah dalam al-Quran tersebut, ada sejumlah hasil penelitian yang memperlihatkan efek ketidakhadiran ayah. Dalam studi yang dilakukan oleh Kalter dan Rembar dari Children’s Psychiatric Hospital, University of Michigan, AS, dari 144 sampel anak dan remaja awal yang kurang pendidikan ayahnya, ditemukan tiga masalah utama. Sebanyak 63 persen anak mengalami problem psikologis subjektif, seperti gelisah, sedih, suasana hati mudah berubah, fobia, dan depresi. Sebanyak 56 persen kemampuan berprestasinya rendah atau di bawah kemampuan yang pernah mereka capai di masa sebelumnya. Sebanyak 43 persen melakukan agresi terhadap orangtua. Dalam studi yang dilakukan khusus terhadap anak-anak perempuan ditemukan hasil yang kurang lebih sama. 69 persen mengalami problem psikologis, 47 persen punya masalah akademis, dan 41 persen melakukan agresi terhadap orangtuanya. Dalam Journal of Divorce Harvard University, AS, Rebecca L. Drill, mengatakan, “Akibat perceraian orangtua dan absennya ayah setelah itu memiliki dampak luar biasa negatif terhadap perasaan anak. Sebagai contoh, perceraian orangtua dan kehilangan ayah terbukti berkaitan erat dengan kesulitan anak melakukan penyesuaian di sekolah, penyesuaian sosial, dan penyesuaian pribadi.” Menurut psikolog dan pakar pemerhati anak, Elly Risman, di antara maraknya kasus anak-anak dan remaja yang bermasalah di negara ini salah satunya karena hilangnya figur ayah dalam keluarga. Negara kita sudah menjadi negara tanpa ayah, kata Ketua Yayasan Kita dan Buah Hati ini. Dengan demikian, dengan tidak menegasikan pentingnya peran ibu, seorang ayah dituntut menyempatkan banyak berdialog dengan putra-putrinya, sebagaimana dikuatkan dengan temuan ilmiah dalam al-Quran di atas. Hal penting apa yang disampaikan dalam dialog itu? Sebagai pelajaran, al-Quran telah menceritakan dialog Luqman dengan anaknya yang termaktub dalam Surah Luqman/31 ayat 12-19. Jangan pernah berharap terlahir generasi terbaik apabila seorang ayah tidak pernah menjadi pribadi yang komunikatif bagi anaknya. Hal inilah yang sejatinya tidak dilupakan oleh kita yang bercita-cita menciptakan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah dalam hidupnya. Wallahu a’lam bish shawwab. – Edi Junaedi (Magister Studi “Agama dan Masyarakat”, Pegawai Direktorat Penerangan Agama Islam) http://bimasislam.kemenag.go.id/post/opini/makna-agung-dibalik-doa-untuk-orang-tua#sthash.yskAQRqv.dpuf

Written by : Admin KUA Temon

Terimakasih atas kunjungan anda, sangat berarti bagi kami jika berkenan meninggalkan jejak dengan memberikan komentar di Web ini dan atau bergabung dengan kami melalui jearing sosial dibawah ini

Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for visiting ! ::